KEINDAHAN ISLAM

http://matcuoi.com

Friday, July 29, 2011

Common Mistakes You Might Be Committing While Doing Umrah

The people living here in the western province visit Makkah often alhamdulillah. But each time we visit, we either witness other people or we ourself are engaged in things that are bid'ah in Islam. A few very common mistakes are as follows:

1) People push and harm others to reach to the black stone and kiss it. If the Mataaf (place of tawaaf) is very crowded, instead of pushing your way to the black stone, it is better to point to it, because that is the Sunnah.

2) Kissing the Yemeni Corner: There is no proof concerning this from the Prophet (p.b.u.h), and if an act of worship is not prescribed in the sunnah then it is bid’ah. Kissing any place on earth is bidah (an innovation), apart from the Black Stone. Based on this, when a person reaches the Ar-Rukn Al-Yemeni he should touch it with the "right hand" but not kiss it.

3) People touch the Black Stone and the Yemeni corner to seek barakah or blessings from them. When the Prophet (p.b.u.h) touched the Black Stone he said: “Allaahu akbar,” indicating that the purpose of it is to glorify Allaah, not to seek barakah.
Hence when the caliph ‘Umar (R.A) touched the Black Stone he said: “By Allaah, I know that you are just a stone and can neither cause harm nor bring benefit. Were it not that I had seen the Prophet (p.b.u.h) kiss you, I would not have kissed you.” Hence it is not permissible to kiss the covers of the Kabah or its stones, or the Yemeni Corner, or the Mus-haf, or to touch them with the intent of seeking blessing from them .

4) Some people bring their young children and touch the Corner or the Stone with their hands, then wipe their children with their hands. This is a corrupt belief that should be denounced. These stones can neither harm nor benefit.

5) Shaykh Muhammad ibn ‘Uthaymeen (may Allah have mercy on him), said regarding touching the walls and covering of the kabah: Every action which is done with the intention of drawing closer to Allaah and worshipping Him, but which has no basis in shareeah, is an innovation, and the Prophet (p.b.u.h) warned against that when he said: “Beware of newly-innovated matters, for every innovation is a going astray.”
Narrated by al-Tirmidhi, 2676; Abu Dawood, 4607.

It is not narrated that the Prophet (p.b.u.h) touched anything apart from the Yemeni Corner and the Black Stone.

6) The Prophet (p.b.u.h) did not touch any part of the Maqaam. We only have to pray two short Rak'ah, as close as conveniently possible, behind Maqam Ibrahim. During the first Rak'at recite Surah Al-Kafirun and during the second one Surah Al-lkhlas.

7) Climbing the mountains of Safa and Marwah, turning towards Qiblah, raising hands and celebrating Allah’s Greatness as if starting prayer. This is completely wrong, because the Prophet (p.b.u.h) raised his hands there only for supplication. Praying two Rak`ahs after completing Sa`y is also bid'ah as the Prophet (p.b.u.h) never did it.

8) Some people carry a small booklet having a du’aa’ for each circuit of the tawaf, and they read it without understanding the meanings. We even hear some of them say du’aa’s that clearly deviate from Islamic teaching. We must explain to the pilgrims that during tawaaf a person can say whatever du’aa’ he wants, and he can remember Allaah (dhikr) however he wants.

All of these matters are simply innovations (bid’ah) and do not benefit those who do them in any way. But if the one who does that is ignorant and does not realize that this is bid’ah, then there is the hope that he may be forgiven. But if he knows that this is bid’ah and yet following it or he is negligent and does not ask about his religion, then he is sinning.

We hope that Allaah will guide our Muslim brothers to perform umrah in accordance with the Sunnah. Religion is not based on emotions and inclinations, rather it is to be based on what has been narrated from the Messenger of Allaah (p.b.u.h).

We also hope that the brothers having the knowledge of these matters educate their relatives and friends visiting Makkah from their native countries so that these practices can be eliminated. Inshallah.

From Daleel al-Akhta’ allati yaqa’ fiha al-Haaj wa’l-Mu’tamir by Shaykh Ibn ‘Uthaymeen (may Allaah have mercy on him).

Friday, July 15, 2011

Nasehat Ayah Kepada Putrinya

Ketika anak perempuannya telah menikah, orangtua tak serta merta lepas tangan begitu saja. Pendidikan serta bimbingan mereka masih diperlukan meskipun hal itu menjadi tanggung jawab utama sang suami.
Dengan terjalinnya ikatan pernikahan, perwalian seorang anak perempuan berpindah dari sang ayah kepada suaminya. Suaminya lah kini yang mengambil alih tugas sang ayah untuk mendidik, membimbing, menjaga serta menghidupinya. Suamilah yang bertanggung jawab memberikan pengajaran agama kepada istrinya guna menyelamatkannya dari api neraka, menasihatinya ketika menyimpang dari kebenaran serta meluruskannya.
Namun demikian, bukan berarti seorang ayah kemudian tutup mata dari kesalahan putrinya ketika ia telah berumah tangga, merasa tidak perlu lagi menasihatinya dan membimbing tangannya kepada kebenaran. Bahkan semestinya, ketika memang dibutuhkan, seorang ayah membantu anak menantunya (suami putrinya) dengan turut memberikan arahan yang positif kepada putrinya dalam rangka melanggengkan kebersamaan putrinya bersama sang suami. Kita ambil contoh apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang bijak, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika menasihati Hafshah putrinya, dalam persoalan dengan suaminya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kisahnya tercatat dengan panjang dalam sebuah hadits yang agung. Agar kita tak luput dari faedahnya, kita bawakan makna haditsnya secara lengkap.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Aku terus berkeinginan kuat untuk bertanya kepada Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang siapakah dua istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
“Apabila kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)….” (At-Tahrim: 4)
Hingga ketika aku berhaji bersamanya, aku mendapatkan kesempatan itu. Saat itu Umar berbelok dari jalan yang semestinya dilalui karena hendak buang hajat. Aku pun ikut belok bersamanya dengan membawa seember air. Seselesainya dari buang hajat, aku menuangkan air di atas kedua tangannya, hingga ia pun berwudhu. Aku pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
Umar menjawab, “Mengherankan sekali kalau engkau sampai tidak tahu siapa keduanya, wahai Ibnu Abbas! Keduanya adalah Aisyah dan Hafshah.”
Kemudian Umar mulai berkisah sebab turunnya ayat tersebut. Katanya, “Aku dan tetanggaku dari Anshar berdiam di Bani Umayyah bin Zaid, mereka ini termasuk penduduk yang bermukim di kampung-kampung dekat kota Madinah. Kami berdua biasa saling bergantian untuk turun menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mendengarkan ilmu yang beliau sampaikan, sehari gilirannya dan hari berikutnya giliranku. Bila giliran aku yang turun dan aku mendapati berita hari tersebut, baik berupa wahyu ataupun selainnya, aku mesti datang menemui temanku guna menyampaikan semua yang kudapatkan. Bila gilirannya, ia pun melakukan hal yang sama.
Kami ini orang-orang Quraisy sangat dominan atas istri-istri kami, mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak kami dan kami tidak pernah melibatkan mereka sedikitpun dalam urusan kami. Tatkala kami datang ke negeri orang-orang Anshar, kami dapati ternyata mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka. Istri-istri mereka turut angkat suara dalam urusan mereka dan berani menjawab. Maka mulailah wanita-wanita kami mengambil dan mencontoh kebiasaan wanita-wanita Anshar. Suatu ketika, aku marah kepada istriku, ternyata ia berani menjawab ucapanku dan membantahku, aku pun mengingkari hal tersebut. Istriku malah berkata, “Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan? Padahal demi Allah, istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berani menjawab dan membantah beliau. Sungguh salah seorang dari mereka pernah sampai memboikot Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang sampai malam hari.”
Aku terkejut dengan penyampaian istriku, “Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tukasku. Kemudian aku mengenakan pakaianku secara lengkap, lalu turun ke Madinah menuju rumah putriku Hafshah.
“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang dari kalian pernah marah pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang hingga malam hari?” tanyaku meminta keterangan.
“Iya,” jawab Hafshah.
“Kalau begitu engkau merugi, apakah engkau merasa aman bila Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai murka disebabkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat marah, hingga akhirnya engkau akan binasa? Jangan engkau banyak meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau menjawabi dan membantah beliau dalam suatu perkara pun serta jangan berani memboikot beliau. Mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan. Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Demikian aku menasihati Hafshah.
Sebelumnya kami telah memperbincangkan bahwa Ghassan telah memakaikan sepatu pada kuda-kudanya guna memerangi kami.
Turunlah temanku si orang Anshar pada hari gilirannya. Pada waktu Isya’, ia kembali pada kami. Diketuknya pintu rumahku dengan keras seraya berkata, “Apa di dalam rumah ada Umar?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya. Temanku itu berkata, “Pada hari ini telah terjadi peristiwa besar.”
“Apa itu? Apakah Ghassan telah datang?” tanyaku tak sabar.
“Bukan, bahkan lebih besar dari hal itu dan lebih mengerikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya,” jawabnya.
“Telah merugi Hafshah. Sungguh sebelumnya aku telah mengkhawatirkan ini akan terjadi,” tukasku.
Kemudian kukenakan pakaian lengkapku, lalu turun ke Madinah hingga aku menunaikan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selesai shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masyrabah1nya dan memisahkan diri dari istri-istrinya di tempat tersebut. Aku pun masuk ke rumah Hafshah, ternyata kudapati ia sedang menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku. “Bukankah aku telah memperingatkanmu dari hal ini, apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan kalian?”
“Saya tidak tahu. Beliau sedang menyepi di masyrabahnya,” jawab Hafshah.
Aku keluar dari rumah Hafshah, masuk ke masjid dan mendatangi mimbar, ternyata di sekitarnya ada beberapa orang, sebagian mereka tengah menangis. Aku duduk sebentar bersama mereka, namun kemudian mengusik hatiku kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiam di dalamnya. “Mintakan izin Umar untuk masuk,” ucapku kepada Rabah, budak hitam milik beliau yang menjaga masyrabahnya. Ia pun masuk dan berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kembali menemuiku. “Aku telah berbicara kepada Nabi dan aku menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
Aku berlalu, hingga kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
Aku kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Namun kemudian hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga untuk ketiga kalinya aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya lagi.
Ketika aku hendak berbalik pergi, tiba-tiba Rabah memanggilku, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkanmu untuk masuk,” katanya.
Aku segera masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang berbaring di atas tikar, tidak ada alas di atasnya hingga tampak bekas-bekas kerikil di punggung beliau, bertelekan di atas bantal dari kulit yang berisi sabut. Aku mengucapkan salam kepada beliau, kemudian dalam keadaan berdiri aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menceraikan istri-istrimu?”
Beliau mengangkat pandangannya, “Tidak,” jawab beliau.
“Allahu Akbar,” sambutku. Masih dalam keadaan berdiri aku berkata, “Izinkan aku untuk melanjutkan pembicaraan, wahai Rasulullah! Kita dulunya orang-orang Quraisy mengalahkan istri-istri kita, namun ketika kita datang ke Madinah kita dapati mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum. Aku kembali bicara, “Wahai Rasulullah, andai engkau melihatku masuk ke tempat Hafshah, aku katakan padanya, ‘Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam’.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum lagi, aku pun duduk ketika melihat senyuman beliau. Kemudian aku mengangkat pandanganku melihat isi masyrabah tersebut, maka demi Allah aku tidak melihat ada sesuatu di tempat tersebut kecuali tiga lembar kulit, aku pun berkata, “Mohon engkau berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan hidup bagi umatmu, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dari posisi bersandarnya, seraya berkata, “Apakah engkau seperti itu, wahai putranya Al-Khaththab? Sungguh mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rizki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia.”
“Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun untukku,” pintaku.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama 29 malam disebabkan pembicaraan (rahasia) yang disebarkan oleh Hafshah kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan,” hal ini beliau lakukan karena kemarahan beliau yang sangat kepada mereka di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai mencela beliau dikarenakan perkara dengan mereka.”
Hadits di atas dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya no. 5191, dengan judul bab Mau’izhah Ar-Rajul Ibnatahu li Hali Zaujiha, artinya: Nasihat seseorang kepada putrinya karena perkara dengan suaminya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 3679.
Dalam hadits ini, kata Al-Imam An-Nawawi t, terkandung adanya pengajaran seorang ayah kepada anaknya, baik anaknya masih kecil ataupun telah dewasa, atau bahkan telah menikah, karena Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan ta`dib “pendidikan/pengajaran” kepada kedua putri mereka, bahkan sampai memukul putri mereka2. (Al-Minhaj, 9/333)
Al-Qadhi `Iyadh rahimahullahu dalam Al-Ikmal, kitab yang berisi penjelasan beliau terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, menyatakan bahwa dalam pemberian ta’dib Umar dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma kepada kedua putri mereka menunjukkan bolehnya hal itu dilakukan oleh para ayah terhadap anak-anak mereka yang telah besar dan anak-anak perempuan mereka yang telah menikah. Al-Qadli rahimahullahu juga menyatakan bahwa dalam hadits di atas menunjukkan bagusnya pergaulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri-istri beliau serta sabarnya beliau menghadapi rasa cemburu mereka dan akhlak mereka, sebagaimana beliau menghasung para suami untuk memperbaiki pergaulan dengan para istri, bersabar atas kebengkokan mereka, dan bernikmat-nikmat (istimta’) dengan mereka di atas kebengkokan tersebut3. (Al-Ikmal, 5/42,43)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan beberapa faedah dari hadits di atas, di antaranya:
 Terlalu menekan istri adalah perbuatan tercela karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kebiasaan orang Anshar dalam urusan istri-istri mereka dan meninggalkan kebiasaan kaumnya (orang Quraisy).
 “Pengajaran” seorang ayah kepada putrinya dengan memberikan nasihat guna membaikkan si putri dalam hubungannya dengan suaminya.
 Bolehnya ayah masuk ke rumah putrinya yang sudah menikah walaupun tanpa seizin suaminya.
 Bersabar dengan istri, tidak ambil pusing dengan pembicaraan mereka serta memaafkan ketergeliciran mereka dalam menunaikan hak suami, kecuali bila berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Bari, 9/362)
Demikianlah ilmu dan pengajaran yang agung yang kita peroleh dari sunnah nabawiyyah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Kamar yang tinggi, untuk naik ke atasnya harus memakai tangga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari cerita Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu kepadanya:
فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ يَرْقَى عَلَيْهَا بِعَجَلَةٍ
“Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di masyrabahnya, beliau naik ke atasnya dengan menggunakan tangga dari pelepah kurma.” (HR. ِAl-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
2 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berikut ini:
دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ النَّاسَ جُلُوْسًا بِبَابِهِ، لَمْ يُؤْذَنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ. قَالَ: فَأُذِنَ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ. ثُمَّ أَقْبَلَ عُمَرُ فَاسْتَأْذَنَ، فَأُذِنَ لَهُ، فَوَجَدَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَالِسًا، حَوْلَهُ نِسَاؤُهُ، وَاجِمًا سَاكِتًا.
Abu Bakr masuk minta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia dapatkan orang-orang sedang duduk di depan pintu rumah beliau, tidak ada seorang pun dari mereka yang diizinkan masuk. Jabir berkata, “Abu Bakr diizinkan maka ia pun masuk. Kemudian datang Umar meminta izin, ia pun diizinkan masuk. Umar mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam keadaan sedih terdiam, di sekitar beliau ada istri-istrinya.”
Jabir melanjutkan haditsnya, di antaranya disebutkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هُنَّ حَوْلِي كَمَا تَرَى، يَسْأَلْنَنِي النَّفَقَةَ. فَقَامَ أَبُوْ بَكْرٍ إِلَى عَائِشَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، فَقَامَ عُمَرُ إِلَى حَفْصَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، كِلاَهُمَا يَقُوْلُ: تَسْأَلْنَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا لَيْسَ عِنْدَهُ؟
“Mereka (istri-istri beliau) ada di sekelilingku sebagaimana yang engkau lihat, mereka meminta nafkah kepadaku.” Mendengar hal itu bangkitlah Abu Bakar menuju putrinya Aisyah lalu memukul lehernya. Bangkit pula Umar ke arah putrinya Hafshah lalu memukul lehernya. Abu Bakar dan Umar berkata, “Apakah kalian meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak ada pada beliau?” (HR. Muslim no. 3674)
Ada pula kisah ta`dib yang dilakukan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya Aisyah d sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’, Abu Dawud dalam Sunan-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Disebutkan bahwa Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mendengar suara Aisyah yang keras kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr pun hendak memukul putrinya seraya berkata, “Wahai putrinya Fulanah, apakah kau berani bersuara keras terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi Abu Bakr dan menahannya. Abu Bakr kemudian keluar dalam keadaan marah. Setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, bagaimana yang engkau lihat tadi, bukankah aku telah menyelamatkanmu dari ayahmu?” Beberapa hari kemudian, datang lagi Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata didapatkannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdamai dengan Aisyah, maka Abu Bakr berkata kepada keduanya, “Masukkanlah aku ke dalam perdamaian ini sebagaimana kalian memasukkan aku ke dalam pertikaian yang lalu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh kami telah melakukannya. Sungguh kami telah melakukannya.”
Namun hadits ini lemah sanadnya (dhaiful isnad) sebagaimana dinyatakan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dhaif Abi Dawud.
3 Sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإنَّ أَعْوَجَ شَيْء فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa bernikmat-nikmat namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Kertas Kerja 1: Siapakah Imam Abul Hasan AlAsya'ari rhm?

DARI HAWA UNTUK ADAM

Adam ku,
Kau sebenarnya imam dan aku makmum mu kerana kau adalah ketua. Jika kau benar, maka benarlah aku. Jika kau lalai, maka lalailah aku. Wahai Adam, kau punyai kelebihan akal, manakala aku kelebihan nafsu. Akalmu 9, nafsumu 1. akalku 1, nafsuku beribu-ribu. Oleh itu Adam, pimpinlah tanganku kerana aku sering lalai dan lupa, sering tergelincir ditolak nafsu dan konco-konconya.
 

Adam ku,
Aku suka kalau kau mengimami solatku pada setiap waktu. Akanku aminkn doamu agar kelak luas syurgaku. Lebih aku suka kalau kau bangunkan aku bertahajjud bersamamu, agar nanti diberkati Ya Rabbi. Kenalkanlah aku pada majlis-majlis agama. Ajarilah aku Yaasin dan memahami al-Quran. Kau ajarlah aku mengalunkan kitab Allah di malam Jumaat yang penuh barakah. Khabarkan padaku tentang fardu-fardu yang patut aku tahu. Bimbinglah aku dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Adam ku,
Ajari aku agar menjadi isterimu yang solehah. Didiklah aku supaya menjadi permata di kaca lembah. Selimutkan dengan iman dan taqwa bekal ke jalan Allah. Ingatkan aku supaya hormat, tunduk dan patuh padamu setiap waktu. Tolonglah aku Adam agar aku tidak beku. Bantulah aku agar otakku tidak buntu. Selamatkanlah aku daripada seksa api neraka yang tidak tegar aku tanggung. Pimpinlah aku menuju nur al-jannah. Tarbiahlah aku supaya kelak aku calon srikandi solehah. Bantulah aku dalam menyemai sifat mahmudah. Moga aku dapat menjadi secerdik Aisyah Humairah Rasulullah, setulus hati dan kasih laksana Siti Khadijah, sezuhud dan sepatuh Rabi’atul Adawiyah, sekuat iman umpama taatnya Sumayyah, seikhlas dan semurni hati Halimatul Sa’adiah dan segagah dan seteguh Nailah al-Farashiyah yang tegar meski tangan bermandi darah membela Khalifah Allah. Seindah hiasan adalah wanita solehah, moga aku hiasan terindah hidupmu Adamku.

Bingkisan tulus dari Adam buat Hawa…

Hawa ku,
Meski aku Adam, gagah pada luaran, adakalanya aku juga tewas dalam godaan. Walau aku pemimpin Khalifah bagimu, aku juga selalu tersungkur kalah akibat nafsu.Nafsuku 1, akalku 9, namun yang 1 itu sering menjadikan aku di luaran kawalan. Kadangkala aku juga tewas dalam lautan duniawai, lemas dalam dunia sendiri. Andai aku leka dan alpa, ingatkan aku untuk kembali pada-Nya, kerana sesungguhnya disebalik seorang lelaki, berdiri seorang wanita.

Hawa ku,
Walaupun aku durjana duniawi, aku juga impikan wanita solehah sebagai suri. Justeru, ingatkan aku agar tingkatkan ibadah, kelak aku bisa menjadi suami soleh. Ingatkan aku supaya selalu mengalunkan kalamullah, agar dapat aku memandumu ke syurga al-Jannah. Sedarkan aku agar mengejar keredhaan ar-Rahman, agar hidup aku sentiasa aman. Bangunkan aku bertahajud bersamamu, agar kelak rahmat-Nya tiada tandingan untukku. Aminkan bacaan doaku, moga nanti luas syurgamu. Taat dan patuhilah aku, kelak solehah jadi milikmu.

Hawa ku,
Aku suka jika kau menutup aurat daripada pandangan buas durjana. Aku suka jika kau tidak sesuka hati menabur cinta duniawi sebaliknya kau titipkan buat zaujmu kelak. Aku suka jika kau bidadari sentiasa mengejar kebahagiaan ukhrawi. Aku kalau kau bersifat keibuan supaya kelak zuriatku penuh dengan kesantunanmu. Aku lebih suka kata-kataku berhemah kerana itu menunjukkan kau wanita berhemah. Aku suka jika kau pandai berdikari, agar kelak kau mampu berdiri sendiri. Lagi indah kalau kau berperibadi mulia, kerana itu sebaik-baik hiasan dunia. Aku suka kalau kau pandai menjaga maruah, agar harga dirimu tidak terlalu murah. Lebih elok jika kau mampu berfalsafah, kerana itu simbol mar’a fatonah. Peliharalah agama seperti mana auratmu terjaga rapi, siramlah ahti dengan taqwa, sebagai bekalan menghadap Yang Kuasa. Hiasi peribadi dengan sifat mahmudah. Agar kelak tidak dipandang leamh. Meski kau dicipta daripda rusukku yang bengkok, namun ada ketika tangan yang disangka lembut mengayun buaian mampu menggoncang dunia mencipta sejarah. Oleh itu, ingatlah aku Adammu yang sering leka dan alpa. Kelak Hawa ku ini bakal menghuni al-Firdausi.

Moga impian kalian semua untuk mencari cinta yang diredhai kan termakbul. Mudah-mudahan coretan ini sedikit sebanyak mengajar kita bermuhasabah diri dalam merebut sekeping hati seorang insan yang kita cintai. Insya-Allah sinaran cinta Ilahi yang dicari akan ditemui. Sematkan pesanan ini dalam hati agar kita saling mengingati..insyaAllah,ameen Ya Rabb..